Ritual Kebhu: Memanen Ikan Menjaga Harmoni
Part 2
Rangkaian Ritual
Kegiatan kremo diawali ritual adat, yg disebut eko ramba, tunu manu, dan nazho. Ritual eko ramba wujudnya berupa penggendongan ramba (jala pusaka) dari ulu nua (hulu kampung) di Munting menuju eko nua (hilir kampung) di Nangarawa, dekat tepi kolam Tiwu Lea. Prosesi disertai kelong (nyanyian mistis).
"Oru lau mbawu oru lau, renggo ika rele lia...," begitu syair kelong.
Mereka memohon kepada leluhur agar menghalau mbawu, ikan belanak yg mendominasi kolam muara, belut, dan berbagai biota lain supaya keluar dari lia (sarang) menuju kolam Tiwu Lea.
Penggendongan ramba hanya dilakukan wanita dewasa yg masih berstatus anggota suku Lowa yg belum menikah. Boleh juga wanita yg sudah menikah, tetapi dipastikan kawin masuk (menjadi anggota suku).
Prosesi eko ramba berlangsung sejauh lebih kurang 1,5 km berujung di kaki nangge (pohon asam) di Nangarawa. Kaki pohon asam itu konon pernah mati, tetapi hidup kembali.
Prosesi dilanjutkan dengan ritual tunu manu , yaitu pemotongan ayam kurban. Sebagian darah ayam dioleskan permukaan batu sesajen dan sebagian lain dioleskan pada ramba.
Jala pusaka selanjutnya diserahkan kepada tetua yg akan memimpin kremo. Kegiatan dimulai setelah sang tetua menebarkan ramba ke kolam. Penebaran didahului lima kali ancang-ancang (nazho). Tetua juga menebarkan jawa pena (jagung titi) ke kolam.
Dari kegiatan itu, tetua langsung memberi tanda-tanda yg mengisyaratkan apakah kremo akan mendapatkan hasil tangkapan memuaskan atau mengecewakan.
"Kalau ikan-ikan langsung datang menyerbu, itu pertanda baik. Pertanda kurang memuaskan kalau tidak banyak ikan yg datang menyambut ramba atau jawa pena," kata Nikolaus Gelang, tetua etnis Rongga asal Desa Watu Nggene, tetangga Bamo.
Ramba tidak dimanfaatkan untuk menangkap ikan. Setelah ditebar untuk mengawali kegiatan kremo, jala pusaka disimpan di rumah induk Suku Lowa di Munting dan dikeluarkan saat kebhu berikutnya.
Harmoni masyarakat
Tradisi kebhu dilakukan sekali dalam lima tahun. Ahli waris utama suku Lowa, Donatus Jimung dan sejumlah tetua di Munting menyebutkan, kebhu terakhir berlangsung tahun 2007. Waktu pelaksanaannya biasanya pada bulan September atau Oktober selama sehari penuh.
Selain keputusan leluhur, ada juga fenomena alam yg mendukung tenggang waktu lima tahun itu. Berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar, hanya sekali dalam lima tahun kolam muara Tiwu Lea mengalami kebuntuan atau tidak tersambung langsung ke laut. Berbagai biota yg terjebak dalam kolam buntu itu menjadi harta milik Suku Lowa, tetapi dipanen secara bersama oleh ribuan warga sekitar.
Penekun budaya etnis Rongga, Yohanes Nani, di Leke-salah satu anak kampung Kelurahan Tanah Rata-memaknai tradisi kebhu sebagai bukti kuat kalau etnis itu pada waktu lampau adalah masyarakat bahari.
"Dewasa ini memang amat jarang ada warga etnis Rongga yg menggantungkan hidup dari laut selain tradisi kebhu yg tetap dipertahankan," kata pensiunan guru SD itu.
Ritual kebhu sesungguhnya mengusung pesan luhur agar manusia tidak serakah terhadap rezeki yg didapat. Pesan lain, adalah mendorong kehidupan bersama secara harmonis tanpa dibatasi sekat suku atau perbedaan lain.
HABIS
Dikutip dari:
Blog Anak Kampung Kluang-Lembata
Rangkaian Ritual
Kegiatan kremo diawali ritual adat, yg disebut eko ramba, tunu manu, dan nazho. Ritual eko ramba wujudnya berupa penggendongan ramba (jala pusaka) dari ulu nua (hulu kampung) di Munting menuju eko nua (hilir kampung) di Nangarawa, dekat tepi kolam Tiwu Lea. Prosesi disertai kelong (nyanyian mistis).
"Oru lau mbawu oru lau, renggo ika rele lia...," begitu syair kelong.
Mereka memohon kepada leluhur agar menghalau mbawu, ikan belanak yg mendominasi kolam muara, belut, dan berbagai biota lain supaya keluar dari lia (sarang) menuju kolam Tiwu Lea.
Penggendongan ramba hanya dilakukan wanita dewasa yg masih berstatus anggota suku Lowa yg belum menikah. Boleh juga wanita yg sudah menikah, tetapi dipastikan kawin masuk (menjadi anggota suku).
Prosesi eko ramba berlangsung sejauh lebih kurang 1,5 km berujung di kaki nangge (pohon asam) di Nangarawa. Kaki pohon asam itu konon pernah mati, tetapi hidup kembali.
Prosesi dilanjutkan dengan ritual tunu manu , yaitu pemotongan ayam kurban. Sebagian darah ayam dioleskan permukaan batu sesajen dan sebagian lain dioleskan pada ramba.
Jala pusaka selanjutnya diserahkan kepada tetua yg akan memimpin kremo. Kegiatan dimulai setelah sang tetua menebarkan ramba ke kolam. Penebaran didahului lima kali ancang-ancang (nazho). Tetua juga menebarkan jawa pena (jagung titi) ke kolam.
Dari kegiatan itu, tetua langsung memberi tanda-tanda yg mengisyaratkan apakah kremo akan mendapatkan hasil tangkapan memuaskan atau mengecewakan.
"Kalau ikan-ikan langsung datang menyerbu, itu pertanda baik. Pertanda kurang memuaskan kalau tidak banyak ikan yg datang menyambut ramba atau jawa pena," kata Nikolaus Gelang, tetua etnis Rongga asal Desa Watu Nggene, tetangga Bamo.
Ramba tidak dimanfaatkan untuk menangkap ikan. Setelah ditebar untuk mengawali kegiatan kremo, jala pusaka disimpan di rumah induk Suku Lowa di Munting dan dikeluarkan saat kebhu berikutnya.
Harmoni masyarakat
Tradisi kebhu dilakukan sekali dalam lima tahun. Ahli waris utama suku Lowa, Donatus Jimung dan sejumlah tetua di Munting menyebutkan, kebhu terakhir berlangsung tahun 2007. Waktu pelaksanaannya biasanya pada bulan September atau Oktober selama sehari penuh.
Selain keputusan leluhur, ada juga fenomena alam yg mendukung tenggang waktu lima tahun itu. Berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar, hanya sekali dalam lima tahun kolam muara Tiwu Lea mengalami kebuntuan atau tidak tersambung langsung ke laut. Berbagai biota yg terjebak dalam kolam buntu itu menjadi harta milik Suku Lowa, tetapi dipanen secara bersama oleh ribuan warga sekitar.
Penekun budaya etnis Rongga, Yohanes Nani, di Leke-salah satu anak kampung Kelurahan Tanah Rata-memaknai tradisi kebhu sebagai bukti kuat kalau etnis itu pada waktu lampau adalah masyarakat bahari.
"Dewasa ini memang amat jarang ada warga etnis Rongga yg menggantungkan hidup dari laut selain tradisi kebhu yg tetap dipertahankan," kata pensiunan guru SD itu.
Ritual kebhu sesungguhnya mengusung pesan luhur agar manusia tidak serakah terhadap rezeki yg didapat. Pesan lain, adalah mendorong kehidupan bersama secara harmonis tanpa dibatasi sekat suku atau perbedaan lain.
HABIS
Dikutip dari:
Blog Anak Kampung Kluang-Lembata
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda ke BARCHETO PUTRA